Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.
1.Konflik
Pandangan
konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti:
Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking.
Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling
bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang
berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya.
Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang
bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga
sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Contoh kasus
dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja
Katolik terhadap Galileo Galilei atas aspek pemikirannya yang dianggap
menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja Katolik terhadap teori
evolusi Darwin pada abad ke-19.
Armahedi
Mahzar (2004:212) berpendapat tentang hal ini, bahwa penolakan
fundamentalisme religius secar dogmatis ini mempunyai perlawanan yang
sama dogmatisnya di beberapa kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran
mutlak obyektivisme sains.
2.Independensi
Pandangan idependensi menempatkan ilmu dan agama tidak
dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan agama sama-sama abasah selama
berada pada batas ruang lingkup penyelidikan masing-masing. Ilmu dan
agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan yang lain karena
memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas satu
sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan keduanya.
Karl
Bath menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi ini, yang
dikutip oleh Ian G. Barbour (2002:66). Menurutnya: Tuhan adalah
transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui
kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung
pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya
sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan
unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok
persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran
manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi.
Barbour
mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik
dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas
dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak
koheren.
3.Dialog
Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“.
Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh.
Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang
menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas
dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam
teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Ian G.
Barbour, 2002:76).
Penganut
pandangan dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah
sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran
karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu
juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis
termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan
pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan
bahwa keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman,
sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Ian
G. Barbour, 2002:80). Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi
terhadap kesejajaran konseptual antara sains dan agama, disamping
kesejajaran metodologis.
Dari uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun
metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama
secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar