Rabu, 31 Oktober 2012

Tipologi Hubungan Sains dan Agama




Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.


1.Konflik




 

Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.



Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei atas aspek pemikirannya yang dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19.

Armahedi Mahzar (2004:212) berpendapat tentang hal ini, bahwa penolakan fundamentalisme religius secar dogmatis ini mempunyai perlawanan yang sama dogmatisnya di beberapa kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran mutlak obyektivisme sains.




Penyebab
konflik agama dan sains
 


2.Independensi

 

    Pandangan idependensi menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan agama sama-sama abasah selama berada pada batas ruang lingkup penyelidikan masing-masing. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan keduanya.

Karl Bath menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi ini, yang dikutip oleh Ian G. Barbour (2002:66). Menurutnya: Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi.
 
Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren.


3.Dialog

 



         Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. 
Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Ian G. Barbour, 2002:76). 

Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Ian G. Barbour, 2002:80). Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi terhadap kesejajaran konseptual antara sains dan agama, disamping kesejajaran metodologis.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.




4.Integrasi


 




Referensi :

  • Modul Islam dan Sains TIF Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga oleh Frida Agung
  • ahmadsamantho.wordpress.com/2008/04/16/empat-tipologi-hubungan-sains-dan-agama 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes