Rabu, 05 Desember 2012

Bumi yang Kokoh dengan Gunung-Gunungnya



Dalam Al-Qur’an Informasi geologis tentang pengkokohan bumi dengan gunung-gunung sudah tersirat, rahasianya baru bisa disibakkan melalui teori-teori ilmiah modern setelah 14 abad berlalu, seperti Dalam ayat al-Qur’an dinyatakan

خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ ۚ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ [٣١:١٠]

Artinya :

Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا [٧٨:٦]

وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا [٧٨:٧]

Artinya :

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,

dan gunung-gunung sebagai pasak?,

Seperti yang telah dikatakan dalam Al-Qur’an, Informasi yang diperoleh melalui penelitian geologi tentang gunung sangatlah sesuai dengan ayat diatas. Salah satu sifat gunung yang paling signifikan adalah kemunculannya pada titik pertemuan lempengan-lempengan bumi, yang saling menekan saat saling mendekat , dan gunung ini “mengikat” lempengan-lempengan tersebut. Dengan sifat tersebut, pegunungan dapat disamakan seperti paku yang menyatukan kayu. Selain itu, tekanan pegunungan pada kerak bumi ternyata mencegah pengaruh aktivitas magma di pusat bumi agar tidak mencapai permukaan bumi, sehingga mencegah magma menghancurkan kerak bumi.

Yang jadi pertanyaan ialah, Bagaimana mungkin gunung mampu menstabilkan bumi, sementara bobot massa dan dimensinya begitu kecil jika dibandingkan dengan massa dimensi bumi?

Menurut temuan-temuan geologis, pegunungan itu muncul sebagai hasil dari pergerakan dan perbenturan pelat raksasa yang merupakan kerak bumi. Pela-pelat ini amat besar dan membawa semua benuanya. Bila dua pelat bertabrakan, yang satu biasanya tergelincir dibawah yang lain dan puing-puing yang terpadatkan ini membentuk pegunungan dengan terangkat lebih tinggi dari pada sekelilingnya. Selain itu, tonjolan yang merupakan pegunungan bergerak di bawah tanah selain di atas tanah. Ini berarti  bahwa pegunungan mempunyai bagian yang terseret ke bawah sebesar bagiannya yang terlihat. Perpanjangan pegunungan di bawah tanah ini mencegah kerak bumi dari tergelincir pada lapisan magma atau antara lapisan-lapisannya,

Dengan penjelasan ini, salah satu dari sifat pegunungan yang paling bermakna adalah formasinya di titik-titik gabung pada pelat-pelat bumi yang tertekan bersama dengan cara berdekatan ketika mendekat dan “memancangkan” diri. Artinya, kita bisa mempersamakan pegunungan dengan paku-paku yang merekatkan potongan kayu. Selanjutnya, tekanan yang didesakkan oleh pegunungan terhadap kerak bumi dengan massa yang amat besar itu mencegah pergerakan magma di inti bumi dari penjangkauan bumi dan penghancuran kerak bumi. Lapisan tengah bumi yang disebut inti, merupakan kawasan yang terbuat dari bahan-bahan yang mendidih di suhu yang mencapai ribuan derajat.

Pergerakan inti ini menyebabkan pemisahan bagian-bagian untuk tegak diantara pelat-pelat yang membesarkan bumi. Pegunungan yang tegak di bagian-bagian ini menghalangi pergerakkan ke atas dan melindungi bumi dari gempa yang keras. Sangat menarik untuk dicatat bahwa fakta-fakta teknis yang di temukan oleh geologi modern di masa kita sekarang telah terungkap dalam Al-Qur’an ribuan tahun yang lalu. Dalam suatu ayat tentang pegunungan, dinyatakan dalam Al-Qur’an :

Q.S Luqman:10

خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ ۚ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ [٣١:١٠]

Artinya:

Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.

Dengan ayat ini, Al-Qur’an menolak tahayul yang biasanya diakui pada waktu itu. Dengan mempunyai pengetahuan yang astronomis primitive seperti masyarakat-masyarakat-masyarakat lain pada waktu itu, orang-orang arab mengira bahwa langit terangkat tinggi di atas gunung. (inilah kepercayaan tradisional yang kemudian ditambahkan diperjanjian lama untuk menjelaskan alam semesta) kepercayaan ini berpendapat bahwa ada pegunungan tinggi di dua ujung bumi yang datar, inilah “penopang” langit. Pegunungan ini dikira sebagai tiang yang menyangga langit di atas tempatnya. Ayat tersebut menolak hal ini dan menyatakan bahwa langit itu “tanpa penipang”. Fungsi geologis sejati juga diungkapkan: untuk mencegah getaran. Sebuah ayat lain menekankan hal itu pula:

Q.S Al-Anbiyya’:31

وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ [٢١:٣١]

Artinya:

Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.

Sumber: Feris Firdaus, S.Si., Alam Semesta (Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Sunnah), (Yogyakarta: Insania Cita Press)

Penjelasan Tentang Sperma Dalam Hadits Nabi


Nabi SAW Bersabda :

“(Manusia diciptakan) dari segala sesuatu yang diciptakan dari sperma laki-laki dan ovum perempuan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya.
Fakta ilmiah yang merupakan bagian inti dari ilmu embriologi dan baru diketahui prinsip-prinsip prematurnya pada akhir abad ke-18 serta memakan waktu dua abad lebih untuk mengendap di alam sanubari para ilmuan embriologi ini  telah dibicarakan oleh Rasulullah dengan cukup detail, ilmiah, menyeluruh, dan holistic sejak awal abad ke-7  M atau sepuluh abad lebih awal sebelum diketahui oleh disiplin ilmu manusia.
Bahkan hingga akhir abad ke-18 masih banyak orang-orang yang mempercayai bahwa tubuh manusia yang teramat sangat kecil tercipta sepenuhnya dari darah haidh. Setelah ditemukannya adanya sl telur (ovum) perempuan, mereka berpendapat bahwa manusia sepenuhnya tercipta di dalam sel telur seperti anak ayam yang tercipta di dalam telurnya. Akan tetapi, setelah diketemukannya spermatozoa, mereka pun berubah pendapat, bahwa janin sepenuhnya tercipta di kepala spermatozoa itu, meskipun ia teramat sangat kecil.
Perdebatan antara pendukung pendapat-pendapat yang salah ini abru berakhir pada akhir abad ke-18, ketika terungkap peran penting masing-masing sel telur dan spermatozoa dalam proses pembentukan sel telur yang dibuahi yang menjadi tempat tumbuhnya embrio. Itupun harus menunggu lama sekali, akrena pendapat ini baru disetujui secara aklamatif pada akhir abad ke-19
Pada abad ke-20 para pakar embriologi berhasi membuktikan bahwa diantara jutaan sperma laki-laki (spermatozoa) yang keluar dalam waktu yang sama (dalam satu pertikel) tidak semuanya dapat mencapai dinding Rahim, melainkan hanya intisarinya saja yang berjumlah tidak lebih dari 500. Dan hanya satu di antara kelima ratus spermatozoa ini yang hisa menembus ovum. Lalu terjadilah pembuahan ovum dan terbentuklah apa yang disebut dalam Al-Qur’an dengan bahasa nuthfah amsyaj (sperma yang bercampur). Dan sel telur merupakan bagian dari air perempuan. Dari sini terlihat jelas satu kilauan kemukjizatan ilmiah dalam sabda Nabi: tidaklah dari sembarang air seorang anak tercipta. Hal ini semakin dikuatkan dengan firman Allah.
Allah Berfirman :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ [٢٣:١٢]ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ [٢٣:١٣]ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ [٢٣:١٤]

Artinya :
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Al-Mu’minuun:12-14)
Allah berfirman :
هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا [٧٦:١]إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا [٧٦:٢]
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insaan:1-2)
Allah Berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [٤٩:١٣]


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat:13)
Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا [٢٢:٥]

Artinya:
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, (Al-Hajj:5)

Sumber:  Prof. DR. Zaghlul An-Najjar, SAINS DALAM HADIS ( Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan Hadis Nabi), (Jakarta: AMZAH, 2011).

Relativitas Waktu dalam Al-Qur’an



Relativitas waktu adalah fakta ilmiah yang terbukti saat ini. akan tetapi, hingga Einstein mengetengahkan “teori relativitas” pada awal abad ke 20, tak seorang pun mengira bahwa waktu bisa relative bergantung pada kecepatan massa.  Namun Al-qur’an telah membuktikannya, ada 3 ayat yang menginformasikan tentang relativitas waktu.

وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ ۚ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ [٢٢:٤٧]

Artinya: Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (Qs. Al-hajj: 47)

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ [٣٢:٥]

Artinya: Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Qs. As-sajdah : 5)

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ [٧٠:٤]

Artinya: Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Qs. Al-ma’arij: 4)

Ayat-ayat ini merupakan ungkapan yang jelas tentang relativitas waktu. Bahwa hasil yang baru saja dipahami oleh ilmuwan abad 20, dikomunikasikan kepada manusia 1.400 tahun yang lalu dalam Al-Qur’an, dan ini merupakan suatu indikasi perwahyuan Al-Qur’an oleh Allah, yang meliputi seluruh ruang dan waktu.

Sebagai kitab yang diwahyukan pertama kali pada 610 M, Al-Qur’an menyiratkan relativitas yang sangat dini merupakan bukti lain bahwa inilah kitab illahi. Kesimpulan yang ditimbulkan oleh temuan-temuan ilmu pengetahuan modern adalah bahwa waktu bukanlah fakta mutlak seperti sangkaan para penganut materialism, melainkan hanya cerapan relative. Yang paling menarik ialah bahwa fakta ini, yang tidak ditemukan sampai abad ke-20 oleh ilmu pengetahuan, diungkapkan kepada umat manusia dalam Al-Qur’an empat belas abad tahun silam.

Ada berbagai acuan dalam Al-Qur’an mengenai relativitas waktu. Dibanyak Al-Qur’an bisa dilihat fakta yang terbukti secara ilmiah bawa waktu merupakan persepsi psikologis yang tergantung pada peristiwa, pranata dan kondisi. Contohnya : seluruh kehidupan seseorang sangat singkat seperti yang dikabarkan dalam Al-Qur’an :

يَوْمَ يَدْعُوكُمْ فَتَسْتَجِيبُونَ بِحَمْدِهِ وَتَظُنُّونَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا [١٧:٥٢]


Arinya: yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (Al-Israa’:52)

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ ۚ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ [١٠:٤٥]

Artinya: Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk (Yunus:45)

Beberapa ayat menunjukan bahwa orang-orang mencerap waktu dengan berlainan dan bahwa terkadang orang-orang dapat mencerap jangka waktu yang sangat singkat sebagai waktu yang sangat lama. Percakapan orang-orang yang terjadi selama pengadilan mereka di akhirat berikut ini merupakan contoh baik tentang hal ini:

قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ [٢٣:١١٢]قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ [٢٣:١١٣]قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [٢٣:١١٤]

Artinya: Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung". Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui"  (Al-Mu’minun,112-114)   

Terdapat banyak ayat Al-Qur’an lain yang menunjukan bahwa waktu adalah cerapan. Ini merupakan bukti khas dalam kisah-kisah itu. Contohnya, Allah telah menjaga Ashhabul Kahfi, sekelompok orang beriman yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yang tidur lelap selama lebih dari tiga abad. Ketika mereka bangun, orang-orang ini mengira bahwa mereka telah tinggal di gua sebentar saja, dan tidak bisa menghitung berapa lama mereka tertidur:

فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا [١٨:١١]ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا [١٨:١٢]


Artinya: Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu). (Al-Kahfi:11-12)

وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ

Artinya: Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini)….( Al-Kahfi:19))

Situasi yang dikisahkan dalam ayat di bawah ini juga merupakan bukti bahwa waktu sebenarnya merupakan cerapan psikologis. Atau seperti orang yang melewati sebuah dusun yang sudah runtuh sampai ke atap-atap nya, ia berkata: “Oh, bagaimana Allah menghidupkan semua ini setelah mati?” lalu Allah membuat nya mati selama seratus tahun kemudian membangkitkannya kembali

قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَانْظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ ۖ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [٢:٢٥٩]

Artinya :Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".( Q.S Al-Baqarah:259)

Ayat diatas jelas menekankan bahwa Allah, yang menciptakan waktu, tidak dibatasi oleh waktu. Sebaliknya, menusia dibatasi oleh waktu, yang ditakdirkan Allah. seperti dalam ayat itu, manusia bahkan tidak mampu mengetahui berapa lama ia tertidur. Dalam keadaan demikian, pernyataan bahwa waktu adalah mutlak (sebagaimana pernyataan para penganut meterialisme dalam pemikiran mereka yang menyimpang) sangat tidak masuk akal.

Sumber: Feris Firdaus, S.Si., Alam Semesta (Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Sunnah), (Yogyakarta: Insania Cita Press)

Senin, 03 Desember 2012

Hidup Sehat dengan Sunnah-Sunnah Fitrah Nabi

Di era modern ini, dunia mengalami kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat. Terbukti dengan adanya berbagai penemuan-penemuan ilmiahnya baik itu berupa teknologi, ilmu pengetahuan maupun dunia kesehatan. Rasulullah juga banyak mengutip dalam hadits-hadits nya yang berkaitan dengan sains dan berhasil ditemukan dengan dipresentasikan secara ilmiah di masa sekarang, hadits tentang sunnah sunnah fitrah, bahwa sesuatu yang fitrah dan di sunnah kan oleh rasulullah ternyata banyak manfaat dan kesehatannya dan ini sudah dibuktikan secara ilmiah di masa sekarang. Berikut teks hadits nya :

حدثناعلي حدثنا سفيان قال الزهري حدثنا عن سعيدبن المسيب عن ابي هريرة رواية الفطرة خمس او خمس من الفطرة الختان, والاستحداد, ونطف الابط, وتقليم الاظفار, وقص الشارب

Artinya :

“Telah menceritakan kepada kami Ali telah menceritakan kepada kami sufyan, Az-Zuhri mengatakan : telah menceritakan kepada kami dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah secara periwayatan, Sunnah-Sunnah fitrah itu ada lima atau lima dari sunnah-sunnah fitrah yaitu berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis.”

1.      1. Khitan

Rasulullah SAW, dalam hadist ini telah mewasiati bahkan mewajibakan kepada kita untuk berkhitan agar terbebas dari berbagai penyakit yang membahayakan, faedah khitan telah terbukti secara klinis dan medis bahwa berkhitan bisa mencegah dari berbagai macam penyakit kelamin seperti syphilis, kencing nanah ( gonorea ), hingga kanker pucuk penis.

Penyakit-penyakit tersebut pada umumnya timbul karena menggumpalnya kotoran-kotoran, bakteri, amoeba, dan jamur diantara pucuk kemaluan dan kulit yang menutupinya yang biasa disebut dengan kulup. Kulup inilah yang oleh Rasulullah diperintahkan untuk dihilagkan dengan cara di khitan ketika masih kecil karena kulup yang menutupi kepala penis merupakan tempat berkumpulnya kotoran dan najis yang timbul dari keringat, maupun cairan produksi kelenjar-kelenjar lemak dan sisa-sisa air seni yang sulit dihilangkan.

Akibatnya virus penyebab sakit ini berpindah dari kulup, pucuk kemaluan, saluran kencing (urethra), kemudian menuju kandung kemih, dan berpindah ke buah pinggang, atau melalui jalan lain yaitu dari prostat menuju kedua buah pelir dan urung-urung (epididymis), kemudian merusak keduanya hingga bisa mengakibatkan kemandulan, bahkan dapat menimbulkan rasa sakit dan nyeri yang hebat. Dan ketika orang yang terserang penyakit ini menikah, ia dapat menularkan penyakitnya kepada istrinya dengan sangat mudahsehingga dapat menyebabkan peradangan di Rahim, leher Rahim, dan kelenjar bartolin menyebabkan penyakit yang disebut radang bartolinitis. Ia kadang bisa sampai ke Rahim dan menyebabkan kanker. Ia juga bisa menyebabkan kemandulan penuh pada wanita, disamping sakit akibat radang yang kronis dan hebat beserta penanahannyadi bagian-bagian tubuh yang paling sensitive.

Oleh karena itu, khitan bagi suami memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi berbagai macam penyakit, sekaligus melindungi istri dari berbagai macam penyakit yang mempengaruhi organ reproduksi.

2.      2. Istihdad (الاستحداد  )

Istihdad adalah mencukur bulu kemaluan. Nabi telah memerintahkan kita untuk mencukur bulu kemaluan. sebab daerah sekitar kemaluan merupakan salah satu anggota tubuh yang beresiko terkena berbagai macam kotoran, karena sangat dekat dengan saluran buang air besar maupun kecil. Lebih dari itu, bahwa daerah ini banyak menghasilkan keringat dan mengeluarkan banyak minyak yang menyebabkan penyakit karena sarang bakteri, virus dan jamur yang menyebabkan radang dan bau tak sedap.

3.      3. Mencabut Bulu Ketiak (نطف الابط)

Seperti halnya istihdad, daerah ketiak pun perlu untuk dibersihkan yaitu dengan cara mencabut bulu ketiak, karena bulu ketiak ini dapat menghasilkan minyak dan mengeluarkan banyak minyak seperti hal nya daerah kemaluan juga dapat menimbulkan bau tak sedap dan tempat berkembangnya penyakit.

4.      4. Memotong Kuku (تقليم الاظفار)

Kuku panjang sangat sulit dibersihkan sehingga menjadi sumber perpindahan penyakit, penyakit yang dibawa kuku panjang biasanya menular kepada pemiliknya melalui jalan mulut, dan menular kepada orang lain melalui jalan bersentuhan, berjabat tangan, atau memberikan makanan dan minuman. Kuku juga bisa menjadi sumber penyakit ketika menyentuh sesuatu yang beracun, najis dan atau ketika dia terluka, terkelupas dan lain sebagainya.

5.      5. Mencukur Kumis (قص الشارب)

Melihat posisi kumis yang terletak di bawah hidung dan diatas mulut, jika kumis itu tebal maka tidak menutup kemungkinan bisa terkena kotoran-kotoran mulut dan hidung seperti liur, dahak, maupun sisa-sisa makanan. Kotoran-kotoran tersebut sulit dihilangkan  sehingga dapat menjadi tempat berkembangnya kuman-kuman, jamur, bakteri. Juga bisa menjadi sumber bau tak sedap yang bisa mengganggu pemilik kumis itu sendiri. Maka rasulullah memerintahkan untuk mencukur kumis  dan menipiskan kumis sebagai bentuk kebersihan.

Dari kelima perilaku ( kebiasaan ) yang dijelaskan diatas sudah jelas bahwa Rasulullah telah meletakkan dasar-dasar kebersihan, beliau tidak membiarkan satu tempat dibadan yang dapat memancing penyakit dan tempat tumbuhnya bau yang tidak sedap. Beliau telah memerintahkan semuanya untuk dibersihkan dan disucikan, khususnya tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang kuman, bakteri, virus dan jamur.

Sesuatu yang fitrah dilakukan oleh manusia dan sangat di sunnah kan oleh Rasulullah ternyata mengandung beberapa banyak manfaat dan pengetahuan medis dan preventif modern yang telah mengisyaratkan  kelima prinsip perawatan kesehatan dan pencegahan ribuan tahun yang lalu.

 Sumber :

    Lidwa Pustaka Online

    An-Najjar, Zaghlul. Pembuktian Sains dalam Sunnah Jilid 2 ( Amzah, 2006 ).

    Zaghlul An-Najjar, SAINS DALAM HADITS (Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan Hadits Nabi), (Jakarta: AMZAH, 2011) hlm.179-180

    Ibid

Rabu, 21 November 2012

Keilmuan Integratif-Interkonektif : Paradigma Keterpaduan Islam dan Sains UIN Sunan Kalijaga


Ilmu pengetahuan telah mengalami banyak  perkembangan sejak zaman Abbasiyah hingga saat ini. Banyak sekali tokoh yang mengkaji Al-qur'an dan hadist sebagai sumbernya untuk menngembangkan beberapa ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang seperti ilmu fikih, akidah, ahklak, hukum, tauhid, faraid,  kalam, filsafat, biologi, kimia, ilmu kedokteran, falaq, matematika, bahasa, mantiq dan  lain sebagainya. 

Melihat kondisi islam saat ini, banyak sekali kemunduran yang dirasakannya terutama dalam bidang sains. Berbagai faktor mempengaruhi kemundurannya. Berbeda pada zaman para shahabat yang sangat antusias mendalami al-qur'an dan hadist untuk mengembangkan sains. 

Sebagai umat islam yang merindukan zaman keemasan islam dengan sains nya, alangkah baiknya apabila kita mempelajari hubungan islam dan sains dengan harapan dapat mengintegrasi dan interkoneksi islam dan sains nantinya.

Jargon integratif-interkonektif memang cukup populer di dengar terutama bagi kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jargon ini tidak hanya sekedar jargon pasca peralihan IAIN menjadi UIN tetapi lebih dari itu menjadi core values dan paradigma yang akan dikembangkan UIN Sunan Kalijaga yang mengisyaratkan tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Gagasan integratif-interkonektif ini muncul dari mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah yang kemudian mengaplikasikannya dalam pengembangan IAIN menjadi UIN. Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul dari sebuah “kegelisahan” pak Amin terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK, genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum muslitimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan.

     Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegus sapa” satu sama lain.
Dalam blog ini, penulis berusaha untuk mendalami dan memaparkan lebih jauh bagaimana paradigma integratif-interkonektif ini dibangun dan bagaimana relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan serta implikasinya ketika paradigma ini coba diterapkan di IAIN yang saat ini berubah menjadi UIN.

1.  Pemikiran M Amin Abdullah : dari Normativitas-historisitas menuju Integratif-interkonektif


Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yangbaku, hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis.Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualisdan skripturalis.sedangkan disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaandigunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis.
Modul Islam dan Sains



Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan ini – pendekatan yang bersifatteologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik.

             Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis. Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut. Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan.

         Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadikan narrowmindedness. Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada. Lebih lanjut tentang paradigma interkonektif dan integratif ini akan penulis paparkan di bawah ini.

2.       Mengenal lebih jauh tentang Paradigma Integratif-Interkonektif dan Relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan

Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan sekuler dan keilmuan agama (baca ilmu keislaman). Keduanya seolah mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini  mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia.

Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat antar individu, bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.

Paradigma integratif-interkonektif  yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,social sciences dan humanities tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya.

Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm.

·         Skema Single Entity
·         Skema Isolated Entities 
·         Skema Interconected Entitie

Dari skema di atas tampak jelas bahwa ketiga keilmuan tersebut menjadi bentuk dialektika atau tegur sapa. Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga demensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislmanan (integrasi-interkoneksi).

Sementara itu, sebagaimana yang terlihat dalam jaring laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan terjadi perkembangan dalam ilmu keislaman, dimana tidak lagi terfokus pada lingkar 1 dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4. Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada lingkar 1 dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum menyentuh pada lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” ataunash-nash keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.

Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh Abid al-Jabiri yang membagi epistemology Islam menjadi tiga, yakni epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani. Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan. Selama ini epistemologi bayani lebih banyak mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemology irfani dan burhani, pola pikir bayani ini akan bekembang jika melakukan dialog, mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani. Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak  dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lain. Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok, sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan-temuan  yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka memperbaiki kekurangan yang ada.

Apa yang ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan paradigma integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan islam (Islamic Studies), dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Namun demikian apa yang telah digagas oleh Amin Abdullah ini ketika diaplikasikan dalam bentuk pendidikan model UIN menurut subyektifitas penulis menjadi tidak applicable dalam pengembangan studi islam, karena dalam hal ini tenyata pekembangan IAIN menjadi UIN –sekali lagi menurut pandangan penulis- justru semakin menyisihkan keilmuan agama dari ilmu alam dan sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan. Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan dalam program studi yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada sosiologi umum, ada psikologi dan psikologi agama, kemudian jika fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi agama dan kemudian fakultas sosial humaniora juga akan membuka antropologi maka yang tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak terutama bagi out put dari produk UIN. Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya” epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Amin Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma yang dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam mengubah IAIN menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan pengembangan Islamic studies murni. Disini berbeda dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas dan normativitasdalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam tekstualis-skripturalis dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan.


Sumber :
http://zunlynadia.wordpress.com/2011/01/27/epistemologi-keilmuan-integratif-interkonektif-amin-abdullah-dan-relevansinya-bagi-ilmu-ilmu-keagamaan/



Strategi Pengembangan Sains yang Ideal


Berbicara  mengenai strategi pengembangan saintek didalam islam memunculkan suatu paradigma baru. paradigma yang dimaksud adalah cara pandang seseorang dalam sains dan teknologi yang erat kaitannya dengan  islam sehingga paradigma tersebut menyatukan sains sebagai bagian dari agama, begitupun sebaliknya. Beberapa strategi yaitu  :

1.      Penciptaan paradigma baru tentang sains teknologi
Paradigma yang di maksud adalah bagaiman cara memandang sains teknologi itu sendiri, dan paradigma ini tidak lagi memisahkan sains teknologi dalam posisi yang diametral dengan agama, tetapi sains teknologi bagian dari agama. Sains yang telah berelasi dengan agama menjadikan sains bagian dari studi islam yang terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya :
a.      Ontologi
Yaitu dalam istilah yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. Dalam kata lain Untuk memahami Allah SWT, dapat dilakukan melalui ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah. dan lebih dari 750 ayat membahas tentang fenomena alam. Dan kita dapat membantu dan mengembangkan dan mengkritisi berbagai sistem pemikiran yang ada. Dan juga, membantu memecahkan masalah pola antar berbagai eksisten dan eksistensi. 
b.      Epistimologi
Yaitu Pengembangan sains-teknologi dalam Islam harus memadukan pola berpikir
Yaitu dengan pengertian :

Bayani ( teks Al-Qur’an sebagai inspirasi )
Epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks, seperti ilmu hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya. Saintis dan teknokrat muslim harus menjadikan teks al-qur’an dan al-sunnah sebagai sumber inspirasi, Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak boleh hanya dikaji secara literal sebab konteks ayat/hadits tentang fenomena alam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits cenderung menggambarkan kondisi masyarakat Arab.
Burhani (melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi, dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya), 
        Saintis dan teknokrat muslim harus membiasakan diri melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya. Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi. Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.

Irfani (pengembangan sains untuk misi ke khalifahan di bumi).
Epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan bukan dengan mekanisme bahasa yang definite (nyata). (http://sanadthkhusus.blogspot.com). Paradigma ‘irfani terkait dengan sikap dan aspek esoterik saintis dalam mensikapi suatu fenomena alam, sains tidak boleh untuk dirinya sendiri terdapat misi kekhalifahan manusia di bumi, kajian sains dan teknologi tidak akan membawa kepada kerusakan alam.
c. Aksiologi
Sains-teknologi harus dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, mencerminkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam : meningkatkan kesejahteraan manusia dan menjaga kelestarian alam. Dan dapat menjadi manusia yang karamah insaniyah. 
2. Kebijakan pemerintah yang pro pengembangan sains teknologi
pemerintah sangat berperan penting dalam perkembangan sains dan teknologi karna pemerintaah juga bertanggung jawab atas pendidikan yang ada di bangsa ini, langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah pertama tentunya melalui politik kemudian meminta kebijakan pemerintah seteleh itu mengimplementasikannya di bidang pendidikan, karena sains dan teknologi tidak mungkin bisa dicapai tanpa melalui pendidikan.
                                 

 Politik --> Kebijakan --> Implementasi --> Pendidikan


Refrensi :
http://isic-suka.blogspot.com/2012/10/strategi-pengembangan-sains-teknologi.html
http://guardyan.blogspot.com/2012/11/strategi-pengembangan-sains-dan.html
Prof.Dr. Thantawi sayyid muhammad, Etika Dialog Dalam Islam. 2001






















Rabu, 31 Oktober 2012

Historisitas Hubungan Agama dan Sains



Historis Hubungan Agama dan Sains 

Sejarah hubungan antara agama dan sains bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran yang dilakukan oleh para penemu-penemu di bidang sains yang menimbulkan pertentangan-pertentangan. pemikiran pertama yakni pada abad ke 15 yang dilakukan oleh Galileo yang membalik ide gereja bahwa bumi sebagai pusat tatasurya diganti menjadi bahwa mataharilah sebagai pusat tatasurya.

Kemudian pada abad ke 17 lahirlah Issac Newton yang membalik hukum gerak yang pernah dikemukakan oleh Arestoteles, Arestoteles mengatakan bahwa pada dasarnya benda-benda itu diam sehingga membutuhkan penggerak di luar dirinya, konsekwensi dari konsep ini maka memerlukan Tuhan sebagai penyebab pertama(caausa prima), Tuhan dalam pandangan Arestoteles masih mempunyai peranan.
Dalam teorinya newton mengatakan bahwa benda bergerak dengan kecepatan tetap, gaya bukanlah penyebab gerak melainkan penyebab perubahan berupa perlambatan, percepatan pembelokan. Gaya tidak dibutuhkan dari luar benda tersebut melainkan benda itu sendiri yang memiliki gaya, pandangan Newton ini dikenal dengan Teori Mekanistik Newtonian. Karena gerak diketahui sebagai sesuatu yang relatif dan gaya bukan penyebab gerak maka tidak diperlukan lagi penyebab pertama seperti pandangan Arestoteles. Jadi dengan kata lain Tuhan tidak diperlukan lagi untuk menjelaskan semua gerak benda-benda, termasuk gerak dari alam semesta seperti bumi, bulan.

Kemudian pada abad ke 19 muncul teori yang dikemukakan oleh Charles Darwin (1809 – 1882)  menyatakan bahwa semua makhluk hidup di Bumi berasal dari satu nenek moyang. Keragaman tersebut terjadi melalui variasi-variasi kecil yang muncul pada individu-individu keturunan, yang terjadi secara bertahap dalam rentang waktu yang sangat lama. Kesimpulan ini didapat berdasarkan observasi dan diskusi yang gencar dilakukan oleh Darwin dengan para ilmuwan lain tentang kemiripan bentuk tubuh antar makhluk hidup (baik yang masih hidup maupun yang berupa fosil) serta hubungannya dengan lingkungan. Saat ini, teori evolusi dinyatakan sebagai satu-satunya teori ilmiah yang mampu menjelaskan asal-usul keragaman makhluk hidup di Bumi, termasuk kemungkinan asal-usul manusia. Belum ada teori ilmiah lain yang mampu menggantikan posisinya.

Bicara tentang sejarahnya, teori evolusi baru populer secara ilmiah setelah Charles Darwin menerbitkan bukunya yang berjudul “On the Origin of Species” pada tahun 1859. Sebenarnya konsep biologi evolusioner telah berakar sejak jaman Aristoteles, dan juga muncul sebagai pemikiran orang-orang Romawi, Yunani, China, dan Timur Tengah. Teori evolusi sangat diasosiasikan dengan Darwin karena beliaulah ilmuwan yang pertama kali mencetuskan teori ini dengan sangat mantap dan mendetil, sehingga mampu melewati pengujian ilmiah dan layak mendapat predikat “teori”—pencapaian tertinggi suatu hipotesa dalam dunia sains.


Konflik Antara Agama dan Sains  masa galileo / abad ke - 15 M

Galileo Galilei, seorang ahli astronomi Italia abad ke-17. Galileo Galilei pernah divonis oleh suatu dewan tinggi agama Gereja Roma karena berpijak pada pengamatan2 nya lewat teleskop yang pada waktu itu masih langka. Galileo mengajukan tesis bahwa bukan matahari yang bergerak mengitari bumi yang diam, melainkan bumilah yang mengitari matahari yang diam. Ia memperteguh teori Copernicus yg lebih dulu menulis gerak planet2 mengitari matahari. Perdebatan panjang yang berakhir dengan pengucilan Galileo (dipenjara).

Namun yang merisaukan adalah banyak sekali penyelewengan kebenaran historis, maupun salah kaprah dari segi ilmu pengetahuan itu sendiri diseputar “kasus” Galileo ini. Oleh karena itu tulisan ini akan membagikan “kerisauan” saya tentang 2 hal dalam kasus Galileo ini, yang pertama adalah mengenai manipulasi kebenaran historis tentang “hukuman mati” bagi Galileo, dan yang kedua adalah tentang teori “Heliosentris” Galileo.
Kesimpulan :
Ketika Galileo menentang paham geosentris (bumi merupakan pusat tata surya) yang dianut oleh gereja. Galileo dianggap mengingkari keyakinan agamanya (kristen) .
·         Galileo Tidak Bermaksud Menentang Paham Gereja
Galileo hanya bermaksud mentransfoermasikan sains  agar lebih bermanfaat bagi kehidupan.

Ø  Transformasi Sains
Sejarah sains Eropa masa kebangkitan (abad 14 dan 15) mencatat bahwa sains muncul tidak hanya dalam rangka melepaskan hegemonik gereja sebagai institusi pemegang kekuasaan tertinggi, tetapi juga sebagai momentum transformasi sains ke dalam utilitas teknik (aplikasi nyata)


Sains Modern

·         Para ahli sejarah sepakat bahwa sejarah perkembangan sains modern beserta aplikasi teknologi yang ada sekarang diawali oleh Newton (mekanika klasik).
·         Mekanika klasik Newton berdampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
·         Konsep mekanika klasik Newton bersifat Mekanistik Deterministik (apabila kondisi awal dari sesuatu dapat ditentukan, maka kondisi berikutnya dapat diprediksi secara tepat).


Dampak Positif Paradigma Newton
Paradigma Newton
Dampak positif paradigma ini juga memberikan ilmu mengenai alam semesta ini yakni penciptaan alam semesta ini tidak terjadi dengan sendirinya, sesuai dengan agama (bahwa alam ini ada yang menciptakan). Demikian juga alam ini dapat diprediksi beberapa milyard tahun yang akan datang sesuai perhitungan waktu peluruhan neutron (inti atom) alam semesta ini akan hancur sehingga sesuai lagi dengan agama (bahwa alam semesta ini tidak kekal).

Sedangkan dampak negatif dari paradigma newton ini adalah dapat membentuk masyarakat yang sekularistik, dan mengabaikan nilai-nilai religiusitas (mengabaikan unsur Tuhan karena merasa dapat memprediksi apa yang akan terjadi). sesuai dengan teori newton bahwa apabila kondisi awal dari sesuatu dapat ditentukan terlebih dahulu secara benar dan akurat, maka kondisi berikutnya dapat diprediksi secara lebih benar dan akurat.

Puncak Konflik Agama dan Sains
Charles Darwin pada abad ke-19
Dalam bukunya yang berjudul ''The Orgin of Species by Means of Natural
Selection,'' Charles Darwin mengungkapkan teorinya mengenai evolusi.  Pokok utama dari teori Darwin tersebut adalah sebagai berikut.

  • Perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu organisme disebabkan oleh seleksi alami (natural selection).
  • ''Survival of the fittest'', artinya siapa yang paling kuat dia akan bertahan. Darwin mengemukakan bahwa individu yang kuat akan bertahan dan akan mewariskan sifat ke generasi berikutnya.
  •  ''Struggle for existance'', artinya berjuang keras untuk bertahan hidup. Individu yang tidak dapat bertahan akan mati dan terjadi kepunahan, sedangkan yang bertahan akan melanjutkan hidupnya dan bereproduksi.


 Perbedaan Paradigma dalam Konsep Energi-Ruang-Waktu
Newton
Massa materi adalah kekal, ada dengan sendirinya dari dulu hingga sekarang (teori Steady State), sehingga ruang dan waktu adalah entitas yang terpisah.

Einstein
Ruang dan waktu adalah entitas yang terkait satu sama lain menjadi dimensi tersendiri yaitu dimensi ruang-waktu. Tanpa ada ruang maka tidak akan ada waktu.

Hubungan Agama dan Sains pada Abad 21 

  • Simbiosis Mutualisme
              Hubungan antara dua makhluk hidup yang bersifat saling menguntungkan.
  • Konflik Berkurang
               




Referensi :

  • http://guardyan.blogspot.com/2012/10/historisitas-hubungan-agama-dan-sains.html
  • http://guardyan.blogspot.com/2012/10/dampak-positif-dan-negatif-paradigma.html
  • Jika Sains Mencari Makna, Prof.Dr.Louis Leahy, S.J. Penerbit: Kanisius 2006
  • Pertemuan I.B Sejarah Hubungan Agama dan Sains ( modul materi )



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes