Rabu, 21 November 2012

Keilmuan Integratif-Interkonektif : Paradigma Keterpaduan Islam dan Sains UIN Sunan Kalijaga


Ilmu pengetahuan telah mengalami banyak  perkembangan sejak zaman Abbasiyah hingga saat ini. Banyak sekali tokoh yang mengkaji Al-qur'an dan hadist sebagai sumbernya untuk menngembangkan beberapa ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang seperti ilmu fikih, akidah, ahklak, hukum, tauhid, faraid,  kalam, filsafat, biologi, kimia, ilmu kedokteran, falaq, matematika, bahasa, mantiq dan  lain sebagainya. 

Melihat kondisi islam saat ini, banyak sekali kemunduran yang dirasakannya terutama dalam bidang sains. Berbagai faktor mempengaruhi kemundurannya. Berbeda pada zaman para shahabat yang sangat antusias mendalami al-qur'an dan hadist untuk mengembangkan sains. 

Sebagai umat islam yang merindukan zaman keemasan islam dengan sains nya, alangkah baiknya apabila kita mempelajari hubungan islam dan sains dengan harapan dapat mengintegrasi dan interkoneksi islam dan sains nantinya.

Jargon integratif-interkonektif memang cukup populer di dengar terutama bagi kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jargon ini tidak hanya sekedar jargon pasca peralihan IAIN menjadi UIN tetapi lebih dari itu menjadi core values dan paradigma yang akan dikembangkan UIN Sunan Kalijaga yang mengisyaratkan tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Gagasan integratif-interkonektif ini muncul dari mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah yang kemudian mengaplikasikannya dalam pengembangan IAIN menjadi UIN. Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul dari sebuah “kegelisahan” pak Amin terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK, genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum muslitimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan.

     Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegus sapa” satu sama lain.
Dalam blog ini, penulis berusaha untuk mendalami dan memaparkan lebih jauh bagaimana paradigma integratif-interkonektif ini dibangun dan bagaimana relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan serta implikasinya ketika paradigma ini coba diterapkan di IAIN yang saat ini berubah menjadi UIN.

1.  Pemikiran M Amin Abdullah : dari Normativitas-historisitas menuju Integratif-interkonektif


Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yangbaku, hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis.Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualisdan skripturalis.sedangkan disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaandigunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis.
Modul Islam dan Sains



Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan ini – pendekatan yang bersifatteologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik.

             Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis. Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut. Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan.

         Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadikan narrowmindedness. Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada. Lebih lanjut tentang paradigma interkonektif dan integratif ini akan penulis paparkan di bawah ini.

2.       Mengenal lebih jauh tentang Paradigma Integratif-Interkonektif dan Relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan

Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan sekuler dan keilmuan agama (baca ilmu keislaman). Keduanya seolah mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini  mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia.

Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat antar individu, bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.

Paradigma integratif-interkonektif  yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,social sciences dan humanities tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya.

Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm.

·         Skema Single Entity
·         Skema Isolated Entities 
·         Skema Interconected Entitie

Dari skema di atas tampak jelas bahwa ketiga keilmuan tersebut menjadi bentuk dialektika atau tegur sapa. Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga demensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislmanan (integrasi-interkoneksi).

Sementara itu, sebagaimana yang terlihat dalam jaring laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan terjadi perkembangan dalam ilmu keislaman, dimana tidak lagi terfokus pada lingkar 1 dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4. Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada lingkar 1 dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum menyentuh pada lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” ataunash-nash keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.

Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh Abid al-Jabiri yang membagi epistemology Islam menjadi tiga, yakni epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani. Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan. Selama ini epistemologi bayani lebih banyak mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemology irfani dan burhani, pola pikir bayani ini akan bekembang jika melakukan dialog, mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani. Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak  dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lain. Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok, sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan-temuan  yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka memperbaiki kekurangan yang ada.

Apa yang ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan paradigma integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan islam (Islamic Studies), dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Namun demikian apa yang telah digagas oleh Amin Abdullah ini ketika diaplikasikan dalam bentuk pendidikan model UIN menurut subyektifitas penulis menjadi tidak applicable dalam pengembangan studi islam, karena dalam hal ini tenyata pekembangan IAIN menjadi UIN –sekali lagi menurut pandangan penulis- justru semakin menyisihkan keilmuan agama dari ilmu alam dan sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan. Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan dalam program studi yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada sosiologi umum, ada psikologi dan psikologi agama, kemudian jika fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi agama dan kemudian fakultas sosial humaniora juga akan membuka antropologi maka yang tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak terutama bagi out put dari produk UIN. Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya” epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Amin Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma yang dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam mengubah IAIN menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan pengembangan Islamic studies murni. Disini berbeda dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas dan normativitasdalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam tekstualis-skripturalis dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan.


Sumber :
http://zunlynadia.wordpress.com/2011/01/27/epistemologi-keilmuan-integratif-interkonektif-amin-abdullah-dan-relevansinya-bagi-ilmu-ilmu-keagamaan/



Strategi Pengembangan Sains yang Ideal


Berbicara  mengenai strategi pengembangan saintek didalam islam memunculkan suatu paradigma baru. paradigma yang dimaksud adalah cara pandang seseorang dalam sains dan teknologi yang erat kaitannya dengan  islam sehingga paradigma tersebut menyatukan sains sebagai bagian dari agama, begitupun sebaliknya. Beberapa strategi yaitu  :

1.      Penciptaan paradigma baru tentang sains teknologi
Paradigma yang di maksud adalah bagaiman cara memandang sains teknologi itu sendiri, dan paradigma ini tidak lagi memisahkan sains teknologi dalam posisi yang diametral dengan agama, tetapi sains teknologi bagian dari agama. Sains yang telah berelasi dengan agama menjadikan sains bagian dari studi islam yang terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya :
a.      Ontologi
Yaitu dalam istilah yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. Dalam kata lain Untuk memahami Allah SWT, dapat dilakukan melalui ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah. dan lebih dari 750 ayat membahas tentang fenomena alam. Dan kita dapat membantu dan mengembangkan dan mengkritisi berbagai sistem pemikiran yang ada. Dan juga, membantu memecahkan masalah pola antar berbagai eksisten dan eksistensi. 
b.      Epistimologi
Yaitu Pengembangan sains-teknologi dalam Islam harus memadukan pola berpikir
Yaitu dengan pengertian :

Bayani ( teks Al-Qur’an sebagai inspirasi )
Epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks, seperti ilmu hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya. Saintis dan teknokrat muslim harus menjadikan teks al-qur’an dan al-sunnah sebagai sumber inspirasi, Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak boleh hanya dikaji secara literal sebab konteks ayat/hadits tentang fenomena alam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits cenderung menggambarkan kondisi masyarakat Arab.
Burhani (melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi, dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya), 
        Saintis dan teknokrat muslim harus membiasakan diri melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya. Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi. Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.

Irfani (pengembangan sains untuk misi ke khalifahan di bumi).
Epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan bukan dengan mekanisme bahasa yang definite (nyata). (http://sanadthkhusus.blogspot.com). Paradigma ‘irfani terkait dengan sikap dan aspek esoterik saintis dalam mensikapi suatu fenomena alam, sains tidak boleh untuk dirinya sendiri terdapat misi kekhalifahan manusia di bumi, kajian sains dan teknologi tidak akan membawa kepada kerusakan alam.
c. Aksiologi
Sains-teknologi harus dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, mencerminkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam : meningkatkan kesejahteraan manusia dan menjaga kelestarian alam. Dan dapat menjadi manusia yang karamah insaniyah. 
2. Kebijakan pemerintah yang pro pengembangan sains teknologi
pemerintah sangat berperan penting dalam perkembangan sains dan teknologi karna pemerintaah juga bertanggung jawab atas pendidikan yang ada di bangsa ini, langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah pertama tentunya melalui politik kemudian meminta kebijakan pemerintah seteleh itu mengimplementasikannya di bidang pendidikan, karena sains dan teknologi tidak mungkin bisa dicapai tanpa melalui pendidikan.
                                 

 Politik --> Kebijakan --> Implementasi --> Pendidikan


Refrensi :
http://isic-suka.blogspot.com/2012/10/strategi-pengembangan-sains-teknologi.html
http://guardyan.blogspot.com/2012/11/strategi-pengembangan-sains-dan.html
Prof.Dr. Thantawi sayyid muhammad, Etika Dialog Dalam Islam. 2001






















Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes